Motomazine.com – Balap MotoGP sudah masuki paruh kedua musim. Saat ini para pembalap tengah beristirahat kurang lebih selama 5 pekan untuk nantinya masuki paruh musim kedua tahun 2023. Sejauh ini Ducati lah yang bisa dikatakan sebagai pabrikan paling sukses. Francesco Bagnaia berhasil memimpin perolehan poin dan memuncaki klasemen pembalap, disusul Jorge Martin dan juga Marco Bezzecchi. Menariknya, mereka semua adalah Ducatisti. Jadi sejauh ini sudah jelas Ducati lah pabrikan yang paling berjaya.
Namun berkebalikan dengan pencapaian Ducati, dua pabrikan Jepang lainnya yakni Honda dan Yamaha justru terpuruk dan mampu perform. Masing-masing pembalap andalannya harus berjibaku dan berjuang keras agar bisa menyelesaikan balapan. Bahkan Marc Marquez harus berulang kali jatuh bangun dari motornya, yang akhirnya membuat pembalap Spanyol tersebut menarik diri dari seri Sachsenring dan Assen.
Atas fenomena ini munculah wacana bahwasannya Dorna akan memberikan status konsesi baik kepada Honda dan Yamaha. Status konsesi merupakan status istimewa yang diberikan agar sebuah pabrikan mampu membangun motor mereka sebaik mungkin. Karena di dalamnya tak ada pembatasan jumlah tes dan perombakan mesin. Hal ini Dorna lakukan agar Yamaha dan Honda kembali ke level mereka, menjadi protagonis dan bertarung di barisan depan.
Akan tetapi, Ducati memandang ini sebagagai langkah yang sedikit ‘keterlaluan’. Mereka mengibaratkan sepuluh tahun silam, saat Ducati benar-benar terpuruk. Tak ada satupun yang peduli dengan mereka.
Luigi Dall’igna bahkan berikan pernyataan terkait terpuruknya Honda dan Yamaha di musim 2023 ini. Gigi menyebut bahwa dua pabrikan Jepang tersebut sudah salah arah, terlalu percaya dan menyerahkan pengembangan sepeda motor ke satu pembalap saja. Ya, hal ini mungkin efektif saat Valentino Rossi masih membela Honda dan Yamaha. Tetapi saat ini, tak semua pembalap mampu mengembangkan sepeda motor layaknya Valentino dan bahkan Colin Edwards.
“Perbedaannya adalah Ducati membangun motor dengan pembalap berbeda dan mendengarkan arahan semua orang. Sebaliknya, menurutku Honda dan Yamaha hanya fokus kepada Marquez dan Quartararo, bukannya membangun motor yang ramah dan cocok untuk semua orang. Dengan cara seperti ini kamu akan melakukan kesalahan, dan saat sesuatu tidak bekerja maka kamu akan kehilangan arah,” tutur Gigi seperti dikutip dari Paddock-GP.
Jika kita menarik fakta beberapa tahun silam, Yamaha memang memfokuskan pengembangan motornya kepada Valentino Rossi. Hal ini terbukti manjur dengan berhasilnya Vale memboyong tropi juara dunia pada tahun pertama si 46 gabung dengan Yamaha. Tak cukup sampai di situ, Yamaha M1 saat itu terkenal sebagai motor yang paling ramah dengan rookie. Faktanya lagi, Jorge Lorenzo yang baru saja menjejakkan kaki di MotoGP musim 2008 langsung mampu melesat dan berkali-kali merecoki Valentino sendiri.
Sebut lagi Ben Spies, Cal Crutchlow, Andrea Dovisiozo, dan Pol Espargaro. Mereka adalah pembalap-pembalap yang sempat melaju cepat saat mengendarai YZR-M1, bahkan di tahun pertama mereka. Namun semua itu sirna saat Rossi mulai tersisih dan pengembangan M1 bertumpu pada pembalap lain. Saya tak menyebut dia siapa, tapi pemirsa sebagai penikmat MotoGP pasti sudah lebih paham. Oke, ECU dan ban mungkin menjadi momok yang membuat Yamaha makin terpuruk, tetapi peran pembalap yang memberikan masukan kepada mekanik juga menjadi faktor penentu. Usaha menadatangkan Jorge Lorenzo dan Cal Crutchlow sebagai test rider pun tak banyak memberikan pertolongan.
Sekarang Honda, sejak kedatangan Marquez 2013 silam, sudah jelas bahwa Honda sangat bergantung pada pembalap bernomor 93 tersebut. Bagaimana tidak, Marc langsung mencuri gelar juara dunia di tahun perdananya sebagai rookie MotoGP. Kesuksesan ini juga Marc teruskan di tahun-tahun berikutnya. Wajar jika akhirnya Honda hanya menitikberatkan pengembangan pada Marc seorang.
Kini semua itu hilang entah kemana. Saat Ducati mulai menemukan racikan pas terhadap Desmosedici. Andrea Dovisiozo menjadi pembalap pengancam. Doi merengkuh runner up selama tiga tahun berturut-turut (2017,2018,2019). Artinya Ducati mulai sembuh. Desmosedici yang terkenal badak di tikungan berubah menjadi motor yang lincah. Lagi-lagi otak genius Gigi yang mampu berikan banyak solusi. Solusi yang awalnya ditentang, tapi kini semua pabrikan memakainya.
Ducati’s Sporting Director, Paolo Ciabatti ikut menggarisbawahi pernyataan Dal’igna. “Kami melakukan pekerjaan panjang dan sulit, dan bahkan berperang dengan pabrikan lain yang tak setuju dengan terobosan baru kami, juga melarangnya. Mereka pabrikan yang jauh lebih besar dari Ducati dengan sumber ekonomi yang jauh lebih besar juga untuk mendukung pekerjaan mereka. Tak ada satupun yang membantu saat kami dalam masalah. Saat Honda menang, tak ada satupun yang protes. Semua pengembang melakukan pekerjaannya. Dan situasi ini bukanlah kesalahan Ducati,” tutur Ciabatti masih kepada sumber yang sama.
Hmmm.. Pedes juga sih pernyataan Ciabatti. Tapi memang begitulah faktanya. Saat Ducati terpuruk, tak ada satupun yang berusaha membantu mereka. Baru ketika mereka berkembang dan menemukan banyak solusi atas masalah yang ada pada Desmosedici, semua teriak-terika. Berusaha menghalangi apa yang menjadi terobosan Gigi dkk. Walaupun akhirnya mereka juga ikut memakainya. Sebut saja aerowing, hole shot dan ride height adjuster, swingarm spoon, duct wash, sampai spoiler di buntut. (mmz)
Artikel terkait:
- Jatuh Hati dengan KTM Vinales Bilang Motornya Agresif
- Marc: Selamat Tinggal Red Bull, Selamat Belajar Pecco
- Petrucci: Toprak Bisa Menang di MotoGP, Dia Gambaran Valentino dan Marc
- Yamaha M1 Mesin V4 Bisa hadir di Tes Sepang
- WSBK: Honda Tak Butuh Toprak
- Celaka! Marini Bilang Honda Jalan di Tempat
- Massimo Rivola Terkejut dengan Review Martin. Aprilia Harus Banyak Berbenah?
- Marini: “Bukan Posisi yang Kami Inginkan!”
- 2026 jadi The Last Chance Toprak ke MotoGP
- Jika dari Awal Pecco Begini, Saya Yakin Tahun ini Doi Sudah Jurdun